health · Holland · life · marriage life · personal · pregnancy

Melahirkan di Belanda (Inleiden Bevalling/Labor Induction)

tumblr_m7neoyyeas1r1s7izo1_1280

“The power and intensity of your contractions cannot be stronger than you, because it is you.”
~ Unknown

Ga berasa (well, berasa si actually :p), it’s been almost two months after I gave birth to a child to this world. Pada tanggal 20 Agustus pukul 16.11, saya diberikan kekuatan untuk menjalani proses melahirkan secara normal (atau yang juga disebut “vaginal delivery”) dengan bantuan induksi dan dengan selamat serta sehat walafiat mengantarkan seorang bayi kecil laki-laki untuk melihat dunia pertama kalinya. Proses persalinan melalui proses induksi di Belanda dikenal dengan istilah “inleiden bevalling”.

Belanda yang merupakan negara pro proses persalinan senormal mungkin (cenderung pro vaginal delivery) dan sebisa mungkin tidak melalui proses C-Section membuat saya harus melalui proses persalinan normal walaupun dengan bantuan induksi. Makanya dari mulai pembukaan sampai saya melahirkan memakan waktu cukup lama. Prosesnya sendiri sudah dimulai sejak 19 Agustus malam. Kenapa dokter memutuskan kalo saya harus melahirkan dengan bantuan induksi?

Di postingan saya sebelumnya saya pernah cerita kalo di usia kehamilan 28 minggu saya didiagnosa diabetes semasa hamil (Gestational Diabetes). Dengan adanya diabetes ini berarti ada kemungkinan bayi dalam kandungan saya pada saat lahir akan jauh lebih besar dari ukuran bayi rata-rata (lebih dari 4 kg) dan tentu aja akan lebih sulit buat saya untuk melahirkan secara normal. Pada saat saya kontrol ke dokter di minggu ke-33 kehamilan, saya sudah diinfokan bahwa ada kemungkinan proses kelahiran/persalinan akan dipercepat dan dilaksanakan di minggu ke-38 apabila ada indikasi kalo si baby beratnya bertendensi melebihi berat rata-rata bayi dengan usia kehamilan yang sama.

Selama beberapa bulan terakhir kehamilan (sejak ketauan ada diabetes semasa hamil itu tentunya hehe) saya menjalani diet untuk mengontrol asupan gula pada tubuh. Selain itu, saya juga diharuskan untuk mengecek tingkat gula darah dua hari setiap minggunya dan dalam satu hari sebanyak 4 kali (kadar gula sebelum makan/puasa, dua jam setelah sarapan, setelah makan siang dan setelah makan malam). Walaupun pas kontrol di minggu ke-33 berat badan si bayi aman, ternyata pas kontrol terakhir di minggu ke-37, dari hasil USG diperkirakan sang baby beratnya udah mencapai 3,8 kg. Memang sii, ukuran lingkar kepala, panjang bayi, ukuran tulang dan lainnya masih sesuai dengan berat badan bayi rata-rata, tapi perutnya katanya agak overweight alias diatas rata-rata wkwk. Singkat kata, berdasarkan hasil USG ini si dokter merujuk saya untuk melahirkan secepatnya. Dokter kemudian menyodorkan brosur tentang inleiden kepada saya dan suami, dengan maksud supaya kami paham apa yang akan saya jalani nanti. Sebelum disodori brosur inleiden saya sempet mikir, ini mereka mau mempercepat proses persalinan saya pake cara apa ya, sempet kepikiran si bakalan di induksi (walau mikirnya cuma disuntik aja hihi). Sempet juga mikir mungkin melalui c-section, tapi sampai terakhir kontrol dokter ga pernah mention tindakan lewat operasi.

Inleiden secara harfiah sebenernya berarti “memulai” (atau dalam bahasa inggrisnya “initiate”). Ada beberapa macam induksi yang bisa dijalankan untuk membantu persalinan: Foley Balloon Catheter Induction, Amniotomy/Rupturing the membrane (breaking the water – memecahkan kantung ketuban), dan melalui Intravenous (IV) Medication (by using a synthetic version of Oxytocin Hormone called Pitocin). Untuk proses persalinan saya kebetulan saya merasakan ketiga-tiganya hehe. Sedap ya :p

Pada waktu kontrol tersebut sang dokter menjelaskan kalo untuk proses persalinan saya nantinya akan dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, untuk memicu pembukaan (ontsluiting – dilation) – sampai bukaan tiga (3 cm) – akan dipasangkan balon ke dalam serviks (mulut rahim). Lamanya proses ini (mulai dari balon dimasukkan hingga mencapai bukaan 3) bisa memakan waktu 8 – 24 jam dan ada kemungkinan kalo pemasangan balon tidak berhasil memicu pembukaan. Kemudian apabila bukaan sesuai rencana, kantung ketuban saya akan dipecahkan, kemudian akan dilihat apakah saya akan mengalami kontraksi alami atau tidak. Kalo tidak ada tanda-tanda, baru akan dilakukan induksi dengan pitocin/oxytocin secara in-vitro melalui infus. Kalo ga sukses juga? mereka kayanya cukup confident kalo tindakan ini akan berjalan sesuai rencana sampai sang bayi lahir walaupun pada saat kontrol itu saya ga ada tanda-tanda mau lahiran hehe.

Oh iya, pada saat saya denger kalo saya harus jalanin proses ballooning, saya langsung inget cerita temen saya di Indonesia yang punya pengalaman kurang menyenangkan dengan proses ballooning wkwk. Awalnya saya ga ngerti kan ya inleiden itu apaan. Begitu tau saya akan dipasang balon saya agak kawatir juga kalo prosesnya akan sakit. Tapi dokter menjelaskan kalo pemasangan balon ini ga sakit (at least berdasarkan pengalaman dia dengan sebagian besar pasiennya yang juga menjalankan proses ballooning). Si dokter juga nunjukin alat apa yang nanti akan dipergunakan buat masukin si balon. Setelah melihat alatnya dan mendengar penjelasan dokter saya pun agak berkurang kawatirnya hehe.

Dokter kemudian menentukan jadwal persalinan sesegera mungkin. Mereka ga mau ambil resiko sang bayi akan semakin besar dan akan semakin mempersulit saya untuk melahirkan secara normal kayanya. Awalnya si dokter mau menjadwalkan agar pemasangan balon dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus malam (which was the next day after the control – or one day after I found out that I need to give birth (for real) with induction). Saya bargain ke si dokter karna tanggal 18 Agustusnya Oma (ibu mertua) ulang tahun ke-75. Adik suami beserta keluarganya sedang pergi liburan, kan ga lucu kalo kita juga ga ada di tempat untuk celebrate the day with her. Akhirnya kami sepakat untuk memulai proses persalinan pada tanggal 19 Agustus malam.

Rumah sakit tempat saya akan melakukan proses persalinan namanya Jeroen Bosch Ziekenhuis (JBZ). Tanggal 19 Agustus sore kami disuruh telepon dulu ke rumah sakit untuk konfirmasi kalo semua sudah siap. Malamnya kami (saya dan suami) berangkat ke JBZ. Jarak tempuh dari rumah ke rumah sakit sekitar 15 menit. Sesampai di JBZ saya langsung diarahkan ke kamar inap untuk bersalin. Mereka menyebutnya kraamsuite. Saya cukup beruntung karena di rumah sakit ini untuk bagian persalinan ini kamar inapnya masing-masing alias satu kamar hanya dihuni oleh satu orang. Fasilitasnya juga lengkap, selain perlengkapan medis di kamar tersedia coffee machine, microwave, kulkas, bahkan ada juga sofa bed untuk suami atau orang yang akan nemenin (walau tingkat kenyamanannya kata suami so so lah). Proses persalinan juga dilaksanakan di kamar (kecuali kalo diperlukan tindakan operasi), tapi kondisi si pasien sendiri tetap dikontrol dari ruang jaga suster. Sepanjang proses persalinan saya di-handle (dengan sangat baik) oleh bidan (verlooskundige) dan para suster (verpleegkundige). Saya sempet mikir kalo persalinan saya akan dibantu oleh ginekolog. Ternyata di sini (lagi-lagi) kalo persalinan normal yang akan menangani adalah para bidan, sementara ginekolog lebih kepada penanganan kasus yang lebih kompleks. Tapi setiap waktu selalu ada ginekolog yang standby dan visit ke pasien. Mereka tetap ready seandainya diperlukan tindakan khusus (seperti c-section misalnya) atau ada kejadian luar biasa pada pasien dimana bidan tidak punya kapasitas untuk bertindak.

Kraamsuite di JBZ

 

Bidan yang menangani saya adalah bidan in-house yang sedang jaga pada waktu itu, bukan bidan dari Rond (tempat saya kontrol kehamilan sebelum akhirnya dioper ke rumah sakit). Kebetulan pas di hari saya (akan) melahirkan ada dua orang bidan yang standby, salah satunya sedang proses belajar tapi sudah tinggal koas (?) istilahnya kali ya.

Malam hari sekitar pukul 10 malam akhirnya balon dipasangkan ke mulut rahim saya. Ternyata pada saat dicek, sebelum pemasangan balon kondisi saya waktu itu sudah bukaan 1,5 (cm). Trus bagaimanakah rasanya dipasang balon? Alhamdulillah prosesnya berjalan lancar dan ga semenakutkan yang dibayangkan. Jauh malah. Mungkin juga karna saya cukup rileks pada saat pemasangan, jadinya yang orang bilang sakit saya ga rasakan. Cuma sedikit kurang nyaman aja, tapi menurut saya ini wajar ya secara ada sesuatu benda asing masuk ke tubuh kita. Oh iya, pada saat saya masuk kamar detak jantung bayi dan ritme kontraksi langsung dimonitor. Trus pada saat balon (beserta kateter) sudah masuk, selang kateter ditempelkan di paha saya. Selesai dipasang bidan bilang tinggal tunggu aja. Kalo serviks mencapai bukaan 3 balon akan lepas sendiri. Waktu itu saya udah mulai merasakan kontraksi (walo saya baru tau kalo kontraksi awal-awal mah ga ada apa-apanya dibanding nanti pas waktunya dorong😝). Bidan bilang seandainya diperlukan saya boleh minum paracetamol 1000mg (dan pil tidur kalo ga salah seandainya kita mau dan merasa perlu) untuk mengurangi rasa sakit (kontraksi) supaya saya bisa istirahat dan tidur. Saya mutusin untuk minum paracetamol aja dan kemudian nyoba untuk istirahat (baca: tidur) sebisa mungkin. Sepanjang malam itu saya sebenernya ga bisa tidur nyenyak-nyenyak banget (karna kontraksi). Tapi lumayanlah untuk menabung tenaga buat pas waktunya melahirkan nanti.

p1000052
alat-alat (“cocor bebek” dan “tang”), kateter beserta balon yang dipake untuk membantu proses persalinan

Keesokan harinya (20 Agustus) sekitar jam 8 pagi, bidan jaga beserta suster dateng untuk mengecek si balon dan pembukaan. Alhamdulillah semua berjalan sesuai ekspektasi. Mulut rahim sudah mencapai bukaan 3 cm. Setelah balon beserta kateter dilepas, masuklah kita ke tahap berikutnya: amniotomy alias breaking the water. Sang bidan minta ijin buat mecahin kantung ketuban saya, biar saya ga kaget. Mecahinnya itu pake alat semacam tongkat dengan hook diujungnya. Pas kantung ketuban pecah rasanya hangat-hangat gimanaa gitu. Air ketuban saya ternyata lumayan banyak jadi sedikit lama sampe si air berhenti keluar (at least ga keluar banyak lagi). Setelah kantung ketuban dipecahkan biasanya kontraksi akan semakin kenceng. Makanya dari tim diputuskan untuk dilihat dulu apakah kontraksi saya polanya makin kenceng ato ga. Satu jam kemudian, karna kontraksi dan pembukaan tidak bertambah akhirnya diputuskan untuk dilakukan induksi hormon pitocyn/oxitocyn melalui infus (pemberiannya dicampur dengan cairan infus). Tingkat pemberian hormon pitocyn/oxitocyn dimulai dari paling rendah dan kemudian tiap 30 menit – 1 jam ditambah tingkat kekuatannya. Mungkin juga kalo menurut saya selain untuk mengurangi tingkat penggunaan obat, pemberian secara bertahap ini juga bertujuan supaya si pasien (ibu yang akan melahirkan) tidak kaget/shock dengan kontraksi yang harus dihadapi kali ya. Oh iya, pas air ketuban dipecahkan detak jantung bayi dimonitor tidak lagi lewat perut saya tapi langsung lewat alat yang ditempelkan ke kepalanya.

Bidan sempet nanya ke saya apakah nanti pada waktunya harus melahirkan (pas proses pushing) saya mau bantuan obat penghilang rasa sakit (epidural) atau ga perlu. Saya tanya ke suami, dia nyerahin opsi ini ke saya, tapi dia bilang keuntungan kalo saya melahirkan tanpa penghilang (well, pengurang) rasa sakit adalah saya setidaknya masih pegang kontrol atas badan saya (dan juga rasa sakitnya heee). Saya sendiri juga memang ga pernah kepikiran mau minta suntik epidural, secara buat nyuntik si epi ini juga kan sakit ya ga si 😁. Jadi saya ga pake epidural untuk menghilangkan rasa sakit selama proses persalinan ini.
Kembali ke induksi, dari pertama induksi via infus diberikan intensitas kontraksi yang saya rasakan sebenernya makin kenceng. Tapi jarak antar kontraksinya sendiri dibilang masih belum cukup untuk memicu pembukaan di jalan lahir (dalam jangka waktu 10 menit minimal 4 kali kontraksi). Makanya dari pertama diberikan hormon pukul 9-an sampe setelah makan siang sekitar jam 2 siang pembukaan saya masih stuck di bukaan 5-6. Ehhh tapi disela-sela kontraksi itu saya masih bisa pake kuteks sendiri, becanda sama suami dan ngobrol via whatsapp sama temen dan keluarga di Indonesia donggg hahaha. Agak amazed juga sebenernya :p. Setelah makan siang bidan kembali mengecek perkembangan. Pada saat itu bidan agak ragu apakah perlu ditambah level hormonnya atau tetap menunggu (waktu itu jarak kontraksi saya 3 kali dalam 10 menit). Akhirnya diputuskan untuk ditingkatkan sekali lagi untuk kemudian dilihat lagi perkembangannya.

p1000057

Setelah ditambah yang terakhir ini, o owww saya langsung ga berkutik deh: kontraksinya udah kaya ga ada jedanya sama sekaliii. Perasaan nih ya, baru selesai gelombang kontraksi satu, ga lama kemudian dateng gelombang baru. Rasanya wuih banget deh. Saya cuma bisa istighfar, mengucap nama Allah sambil pegangan sama suami. Tangan suami sampe biru saking kencengnya saya teken (untuk ga pake kuku hihi). Saya pikir ini udah paling pol sakitnya, tapi begitu bilang ke suami dia bilang saya belum sampe ke level paling atas, karna pada saat itu saya masih belum ngerasain dorongan (pushing/persen). Saya sempet bingung mau sakit kaya gimana lagi, sampe pada satu waktu ada semacam dorongan kaya mau BAB (tapi aneh rasanya. Kalo kata temen cowo saya yang orang belanda – rasanya kaya mau BAB segede pepaya – which in a way bener juga hahaha). Saya kasih tau ke suami pas saya ngerasain dorongan ini, dan minta untuk dipanggilkan bidan atau suster supaya saya dicek lagi. Begitu bidan dateng saya sempet-sempetnya dong ke kamar mandi dulu buat pipis. Ga tahan abisnya, dan saya ga mau pipis di tempat haha.

Pada saat dicek pertama bidan (yang koas) sempet agak ragu dengan bukaan saya, apakah udah komplit dan bisa mulai pushing atau ga, tapi setelah dicek lagi akhirnya keduanya yakin dan langsung bilang: yak, bukaan udah komplit, kamu boleh dorong kalo kontraksi dateng. Pada saat percobaan pertama kali saya untuk mendorong, suami bilang dia sempet liat kepala si bayi. Tapi karna saya kurang kuat dorongnya, kepala bayi masuk lagi. Pada percobaan yang ketiga kalo ga salah akhirnya kepala sang bayi keluar. Saya masih harus mendorong sekali lagi untuk bahunya, setelah itu saya denger suara bayi nangis. Bidan kemudian langsung menaruh bayi ke dada saya, sambil nyuruh saya untuk push lagi untuk mengeluarkan plasenta (beserta kantungnya). Setelah plasenta keluar baru plong rasanya, dan perut terasa lumayan kosong hehe. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik. Saya tidak kehilangan darah secara berlebihan dan juga tidak mengalami robek dalam – hanya sedikit rupture di bagian labia kanan dan bawah. Bidan menjahit sedikit supaya bentuknya kembali seperti semula, dan benang jahitannya akan lepas dengan sendirinya.

All in all, saya bersyukur diberikan pengalaman indah oleh Allah dalam menjalani proses dari hamil sampai melahirkan ini. Buat saya, mengalami yang namanya diabetes semasa hamil bener-bener menjadi a kind of blessing in disguise. Selalu ada hikmah dibalik satu kejadian. Kalo saya ga tau saya ada GDM, berat badan saya pada saat hamil mungkin akan bertambah lebih banyak (dan pastinya saya akan lebih susah untuk mengembalikannya ke berat badan semula). Selain itu, saya juga ga akan menjalani proses persalinan dengan persiapan seperti yang saya alami kemarin. Walaupun orang bilang melahirkan/kontraksi tanpa induksi jauh lebih ringan sakitnya daripada melahirkan/kontraksi dengan induksi, there was no regret at all dan sekali lagi bersyukur dengan apa yang sudah saya jalani. Alhamdulillah bayi saya lahir dengan selamat, sehat dan normal tidak kurang suatu apapun.

Sesuai dengan aturan di sini, setelah kondisi saya dan bayi dicek oleh ginekolog dan bidan dan dianggap oke alias ga perlu tindakan khusus, saya bisa langsung pulang malam itu juga (setelah saya udah pipis tapi). Sedih amat ya wakakka, berasa diusir gitu. But a rule is a rule, kami juga harus ikut aturan ini. Suhu badan saya sempet sedikit agak tinggi dari suhu normal, makanya kami diminta untuk tinggal beberapa jam lebih lama untuk kemudian dicek lagi suhu badan saya. Setelah dianggap normal, kamipun diperbolehkan untuk pulang.

Maaf kalo ceritanya agak panjang ya. Untuk sementara sampai di sini dulu, cerita pra dan pasca melahirkan nanti akan saya share di postingan lainnya, dan saya akhiri postingan kali ini dengan foto pertama saya bersama si bujang 😉

 The first moment with my boy after he came to this world :’)

10 thoughts on “Melahirkan di Belanda (Inleiden Bevalling/Labor Induction)

  1. Wah, selamat Mbak Anis untuk kelahiran anak lelakinya. Hoera! Ik wil je van harte feliciteren met de komst van jullie baby. Het begin van een nieuw, gelukkig en gezond leven. Geniet van de tijd die komen gaat en alle mooie momenten daarna!
    Btw, aku sejak jaman2 masih SMA kan sudah bercita2 kalau melahirkan pakai cara dioperasi aja. Eh ternyata kawin sama orang Belanda, pupus cita2nya. Kecuali balik ke Indonesia, numpang melahirkan di sana hehe.

    Like

    1. Dankjewel tante Deny =)
      Melahirkan via c-section kayanya enak emang ya hehe, tapi kalo melahirkan normal itu enaknya si katanya si ibu lebih cepet pulih. Yah, yang paling penting si ibu dan bayinya sehat dan normal, melahirkan dimanapun dengan cara apapun 🙂

      Eh tapi mungkin kalo di kota besar kaya Den Haag boleh rikues kali Den, minta dioperasi aja kalo lahiran 😀

      Like

  2. halo mbak anis.. aku lg hamil 16 week nih mbak. rencananya bulan maret nyusul suami ke amsterdam. yang mau aku tanyakan, waktu kontrol hamil ke bidan, bidannya bs bahasa inggris tdk? trrimakasih..

    Like

    1. Halo Pita, salam kenal dan selamat yaa buat kehamilannya 😊
      Beruntung Belanda termasuk negara yang hampir sebagian besar warganya bisa bahasa Inggris Pita, apalagi di kota besar kaya Amsterdam.
      Pas pertama kontrol kalo ga salah bidannya nanya ke aku mau pake bahasa inggris ato bahasa belanda. Aku milih pake bahasa belanda aja – dengan catatan suami ikut nemenin (biar kalo ada yg ga ngerti bisa aku tanya ke dia 😁).

      Like

Leave a comment